Monday 7 May 2012

makalah fiqih muamalah


JUAL BELI SAH & MACAM – MACAMNYA


Makalah
Dianjukan untuk Dipersentasikan pada Diskusi
Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Tanggal    Maret 2012
 



Oleh


KELOMPOK 2
1.      Angga Wijaya Saputra
NIM : 11631092
2.      Dona Ulfa Rana
NIM : 11631080
3.      Irwandi
NIM : 11631105
4.      Muhammad Farel
NIM : 11631011
5.      Muhammad Samsul Rizal
NIM : 11631073
6.      Yomi Erlangga
NIM : 11631086

DOSEN PEMBIMBING
NOPRIZAL, M.Ag

PRODI EKONOMI PERBANKKAN ISLAM JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) CURUP
2012 M/1432 H




KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis berhasil menyusun makalah Mata fiqih muamalah yaitu tentang  “Jual Beli Sah & Macam - Macamnyai” dengan baik dan tepat waktu.
Materi ini bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan dalam kegiatan ekonomi dalam cara islam melalui pemberian pengetahuan melalui kajian teori, dan analisa yang telah ditulis dengan bahasa yang mudah untuk dimengerti bagi siapa saja yang ingin membaca dan memahaminya. Sehingga menjadi manusia muslim yang menjalankan syariat islam dalam melakukan ekonomi, menumbuhkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian makalah ini :
1.      Orang tua penulis yang telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga  memberikan semangat kepada penulis.
2.      Bpk. Noprizal, M.Ag Selaku dosen mata kuliah Fiqh Muamalah yang memberikan pengarahan dalam penulisan makalah.
3.      Rekan-rekan kelas Fiqih Muamalah yang telah mendukung penulisan makalah ini.
4.      Pihak-pihak lain yang telah membantu penulisan makalah ini.
Tak lupa pula pepatah “ tak ada gading yang tak retak” bahwasannya penulis menyadari pasti ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu diharapkan saran dan kritik yang membangun, guna sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khusunya dan bagi pembaca umumnya.



Hormat Kami,


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

Permasalahan jual beli dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat memang sangat urgens, unik dan vital untuk memnuhi atau saling berinteraksi di bidang ekonomi. Secara global suatu negara tidak akan dapat memenuhi “kebutuhannya” secara validitas yang notabene memerlukan perpanjangan tangan dari negara lain  dalam istilah ekonomi dunia di sebut  worl food assication dan world trade assication baik dalam bentuk komoditi besar maupun dalam bentuk dan skala komoditi kecil. Dalam mempraktikkan ekonomi ( salah satu dari kegiatan dalam dissiplin ekonomi  ; jual beli atau bisnis )mempunyai unur-unsur atau aturan-atiuran yang terendiri dan di pandang memeliki karateristik dan keunikan yang tersendiri pula, hal ini senada dengan pendapat Muhammd H.MS bahwa ekonomi Islam memiliki kareteristik dan keunikan tersendiri jika di bandingkan dengan peradaban lain ( ekonomi kapital yang sifatnya mengeksploitasi ). Ekonomi islam ( yang dalam hal ini di persempit maknannya menjadi ekonomi pasar ) adalah ekonomi rabbaniyah, ilahiyah, insaniyah , ekonomi berahlak. Yang nila-nilai tebut membawa dampak bagi seluruh segi di dalam kajian ekonomi seprti harta, produki, konsumsi, sirkulasi, dan lain-lain[1].
            Seorang ekonom muslim atau bisniman muslim, baik secara pribadi maupun secara kelompok ( perusahaan, supermarket, mini market dan lain-lain ) tidak bebas mengerjakan apa saja yang di sukainya ( permainan harga , timbangan dan penggunaan zat yan-zat pengawet yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehataan yang hanya berdalih “pengawetan suatu produk tertentu “ ) dan ini seirama denagn buah pikiran Muhammad H.M.S di atas. Atau apa saja yang menguntungkan yang sifatnya satu pihak, tetapi ia diikat oleh seperangkat nilai iman dan ahlak , moral bagi setiap bagi setiap aktifitas ekonominya baik dalam posisinya sebagai konsumen maupuan sebagai produsen
            Dawarsa belakangan ini, penilaian mayarakat terhadap Negara “maju” di ukur dari dua segi  yaitu pengusaan tehnologi dan kemajuan di bidang ekonomi yang secara applikatif dan implementasi dari kedua hal tersebut dapat kita lihat dengan mata telanjang di Nusantara yang katanya hijau royo-royo nan permai ini dan jawabannya pun ada di benak kita masing-masing.

BAB II
 PEMBAHASAN
JUAL BELI

A.   Jual Beli Sah dan Macam – Macamnya
1.     Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau kesulitan bayar karna lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap sebagai pengurang piutang.

a.      JENIS MURABAHAH
1)      Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat  bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut .
2)      Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual.






b.      RUKUN DAN SYARAT MURABAHAH
1.      Pengertian Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'),orang yang membeli (Musytari),Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.
2.      Syarat Murabahah
a.       Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus paham hukum atau baligh (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela)
b.      Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
c.       Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.

c.       DASAR HUKUM MURABAHAH
Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami.

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. . . . ." (QS. An-Nisa : 29)


3….. ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 ……s
 "…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…,”. (QS.2:275)
Al-Hadist
“Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka". (HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

d.      KETENTUAN UMUM MURABAHAH
1.      Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2.      Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli..
3.      Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
4.      Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5.      Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.

2.      SALAM
a.       Pengertian Salam
Dalam pengertian sederhana, as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka[2].
b.      Rukun As – Salam
Pelaksanaan as- salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
a.       Muslam (pembeli)
b.      Muslam Ilaih (Penjual)
c.       Modal atau Uang
d.      Muslam Fiihi (Barang)
e.       Sighat (Ucapan)[3]
c.       Syarat as – salam
1.      Modal Transaksi as – salam
a.       Modal Harus Diketahui
b.      Penerimaan Pembayaran Salam
2.      Al – Muslam Fiihi


3.      ISTISNA
Transaksi istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha memalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga system pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dii muka, cicilan, atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.[4]

B.     JUAL BELI BATAL DAN MACAM – MACAMNYA
1.      GHARAR
Defenisi gharar menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah[5]: Al-ghararu  manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”
Wahbah al-Zuhaili[6] memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu.
Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.

Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili mengutip beberapa pengertian gharar yang dikemukakan oleh para fuqaha yang maknanya hampir sama:
1.             Al-Syarkasi dari mazhab Hanafi berpendapat, al-gharar ma yakun masnur al aqibah ,artinya: “sesuatu yang tersembunyi akibatnya”.
2.             Al-Syirazi dari mazhab Syafi`i berpendapat, al-gharar ma intawa `anhamruh wa     khafiy alaih `aqibatuh, artinya : “sesuatu yang urusannya tidak diketahui dan tersembunyi akibatnya”
3.             Ibn Taimiyah, berpendapat gharar ialah tidak diketahui akibatnya.
4.             Ibn Hazm berpendapat, gharar itu ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau penjual tidak tahu apa yang ia jual.

Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah[7]:
1.      Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2.      Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
3.      Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
4.      Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.

2.      HUSHAH
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hushah. Jual beli hashah (kerikil) ialah jual beli dimana pembeli menggunakan krikil dalam jual beli. Kerikil tersebut dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual. Barang yang mengenai suatu barang akan dibeli dan kerika itu terjadilah jual beli.

3.      MUZABANAH
Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang jual beli muzabanah. Muzabanah adalah menjual kurma basah dengan kurma kering dalam bentuk takaran atau menjual kismis dengan anggur dalam bentuk takaran.
Masih dari 'Abdullah bin 'Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw. melarang muzabanah, yaitu seseorang menjual buah-buahan hasil kebunnya. Apabila kurma segar ditakar dengan kurma, anggur ditakar dengan kismis, bahan mentah ditakar dengan makanan. Rasulullah saw. melarang bentuk-bentuk jual beli seperti itu," (HR Bukhar dan Muslim).

C.    JUAL BELI FASID DAN MACAM – MACAMNYA
1.      NAJASY
1.      Konsep Dasar
Dalam pengertian terminologis adalah: (ketika) seseorang menambah harga pada suatu barang, namun ia tidak membutuhkan barang tersebut dan tidak ingin membelinya; ia hanya ingin harganya bertambah, dan akan menguntungkan pemilik barang
Dalam dunia bisnis komoditas tertentu, ada sebuah cara yang bisa dilakukan oleh pemilik barang untuk memperoleh keuntungan dengan menggunakan seseorang atau sekelompok orang untuk berpura-pura menawar barang dagangannya dengan harga tinggi dengan maksud untuk memancing keinginan para calon pembeli barang tersebut untuk menawarnya dengan harga tinggi (atau bahkan lebih tinggi daripada nilai tawar barang tersebut), yang dalam istilah fikih dikenal dengan sebutan “najasy” (jual-beli najasy). Jual-beli dengan pola ini jelas dilarang oleh Islam, karena akan berakibat merugikan para pembeli. Inilah praktik jual-beli yang berujung pada “riba”.
Teks Hadis
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ. وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Terjemah:
Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara najasy. (HR al-Bukhari)”

2.      TALAQQY RUKBAN
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa: Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari). 
Dikatakan larangan karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.

3.      URBUN
Bai’ Arabun ialah : Seseorang membeli sesuatu dengan membayar harga panjar/persekot/’arabun kepada penjual. Jika calon pembeli mengurungkannya, maka persekot hangus dan menjadi hibah kepada penjual. Jika jual beli diteruskan, maka harga persekot merupakan bagian dari harga beli, atau jika ternyata akad dibatalkan oleh pihak pembeli, maka uang muka tersebut menjadi milik penjual. Akan tetapi, bila transaksi berlanjut, maka uang muka tersebut menjadi bagian dari harga yang telah disepakati.

























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Jual beli adalah suatu kegiatan untuk memenuhi atau saling melengkapi kebutuhan antara konsumen dan produsen yang di lakukan tanpa ada sifat keterpaksaan, penipuan ( timbangan, uang palsu, barang yang cacat dan lain-lain ). Hak antara konsumen dan produsen dalam hukum Islam adalah sejajar baik untuk menjual maupun membeli barang tersebut. Dari aturan-aturan yang di gariskan oleh Allah kepada hambanya untuk mengatur jalanya roda perekonomian sebagai salah satu dari dua krtiteria penilayan masayarakata “maju” menurut versi orang sekarang.
Hikmah jual beli yaitu adanya rasa keterkaitan dan saling membutuhkan sehingga dapah mengukuhkan rasa persaudaraan, kemudian tidak ada yang melengkapi kebutuhanya sendiri baik dalam skala yang besar maupun kecil sehingga dengan jual beli terjadilah interaksi yang sifatnya aosiasi antara kedua belah pihak.


















DAFTAR PUSTAKA

Muhammad hms, 2007, Aspek Hokum Dalam Muammalat, Yokyakarta : Graha Ilmu. Hlm. 77
Az-Zuhaili, Wahbah. 1985. Ushul Fiqh al-Islami. Beikrut; Darul Fikr.
-----. 1989. Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Cetakan ke-4. Damaskus: Darul- Fikr
Al-Kasani, Abu Bakar Ibnu Mas’ud. Al-Bada’i was-Sana’i fi Tartib ash-Shara’i . Edisi ke-2. Beirut: Darul-Kitab al-Arabi.
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtihad wa Nihayatul Muqtasyhid (Beirut: Darul-Qalam, 1988) ; al – Mabsuth vol. XII, hlm. 124
Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa `Adillatuhu. Juv IV. Dar al-Fikr. Damascus. Syria, hal 435-437
Al Imam an-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Dar Ilya` at-Turath al-Arabi, jld 9 hal 210


[1]  Muhammad hms, 2007, Aspek Hokum Dalam Muammalat, Yokyakarta : Graha Ilmu. H. 77
[2] Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtihad wa Nihayatul Muqtasyhid (Beirut: Darul-Qalam, 1988) ; al – Mabsuth vol. XII, hlm. 124
[3] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Darul-Fikr, 1997), cetakan ke-4, vol. V, hlm.3604 dan sedudahnya
[4] Abu Bakar Ibn Mas’ud al-Kasani, al-Bada’I was-Sana’i fi Tartib al-Shara’I (Beikrut: Darul-Kitab al-Arab), edisi ke-2
[5] Syarikat Takaful Malaysia, Op., Cit., hal 19
[6] Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa `Adillatuhu. Juv IV. Dar al-Fikr. Damascus. Syria, hal 435-437
[7] Al Imam an-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Dar Ilya` at-Turath al-Arabi, jld 9 hal 210

No comments:

Post a Comment